Melimpahnya informasi di era teknologi ini menuntut peserta didik untuk menguasai beragam informasi dan materi pengetahuan. Oleh karena itu, kecakapan membaca tentu berperan penting. Kecakapan membaca mencakup kemampuan memahami makna yang tersurat dan tersirat dari kalimat, paragraf, dan keseluruhan teks sebagai satu kesatuan. Hal itu menunjukkan bahwa membaca adalah proses yang kompleks dan menantang. Oleh karena itu, peserta didik di SMP perlu menguasai strategi untuk meningkatkan keterampilan membaca di semua mata pelajaran untuk memahami materi pembelajaran. Pentingnya strategi membaca ini dikuatkan oleh jenjang kemampuan membaca yang dipetakan Jeane Chall (1983) sebagai berikut.
Tahapan Kemampuan Membaca (Chall, 1983)
- Pramembaca (Prasekolah)
- Membaca permulaan (Prasekolah)
- Membaca dengan fasih dan memahami teks pada konteks yang diakrabi (Sekolah Dasar)
- Membaca untuk mempelajari khazanah pengetahuan baru dan informasi yang lebih kaya (SMP)
- Membaca analitis mempertimbangkan perspektif yang berbeda
- Membaca analitis dan kritis untuk mengonstruksi dan mendekonstruksi pengetahuan (SMA)
Penjenjangan ini senada dengan taksonomi Barrett yang memetakan pemahaman membaca dalam lima jenjang, yaitu pemahaman literal, reorganisasi, pemahaman inferensial, evaluasi, dan apresiasi. Taksonomi ini digambarkan sebagai berikut.
- Apresiasi : Mengkritik, menilai
- Evaluasi : Menganalisis, mengevaluasi, membenarkan
- Pemahaman Inferensial : Memprediksi, membuat asumsi, memperkirakan
- Reorganisasi : Mengklasifikasi, mengategorikan, menyusun kembali
- Pemahaman Literal : Menyebutkan, mengingat, mengulangi, menceritakan kembali
Penjenjangan kemampuan membaca ini menegaskan bahwa keterampilan membaca perlu diajarkan di jenjang SMP. Tanpa menguasai keterampilan membaca pada jenjangnya, peserta didik tidak akan mampu mengakses pengetahuan. Oleh karena itu, kemampuan membaca ini menjadi tolok ukur kompetensi global yang diuji dalam Programme for International Student Assesment (PISA) yang mengukur kecakapan literasi membaca peserta didik berusia 15 tahun di negara-negara yang berpartisipasi. Dalam tes ini, skor kemampuan membaca peserta didik Indonesia menurun nilainya dari 402 pada tahun 2009 ke 396 pada tahun 2012 dan titik terendah adalah 371 pada tahun 2018.
Dalam kajian literasi yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bekerja sama dengan Balitbang Kemendikbud menggunakan soal-soal setara PISA pada peserta didik kelas X di 34 provinsi, rerata kemampuan membaca peserta didik tersebut berada di level 3, yaitu mampu menyelesaikan tugas-tugas membaca dengan kompleksitas sedang, seperti menemukan beragam informasi, membuat tautan antara berbagai bagian teks, dan menghubungkannya dengan pengetahuan sehari-hari yang sudah dikenal. Hanya sedikit peserta didik (sekitar 18,8 %) yang menunjukkan kemampuan membaca pada level 4 dan 5, yaitu mampu mengidentifikasi makna tersirat, menafsirkan makna dari gaya bahasa dan mengevaluasi teks secara kritis, mengelola informasi yang sulit ditemukan dalam teks, menyimpulkan informasi dalam teks yang relevan dengan pertanyaan, membangun hipotesis, memanfaatkan pengetahuan khusus, dan mengakomodasi konsep yang mungkin bertentangan dengan harapan.
Kecakapan berpikir aras tinggi tersebut juga menjadi materi yang diujikan dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Sebagaimana tes PISA, AKM mengukur membaca sebagai proses kognitif. Proses kognitif pada AKM adalah sebagai berikut.
Proses Kognitif | Kerangka Literasi Membaca pada AKM |
---|---|
1 | Menemukan Informasi
|
2 | Mengintegrasi dan Menginterpretasi
|
3 | Mengevaluasi dan Merefleksi
|
Sementara itu, jenis teks yang digunakan pada AKM adalah sebagai berikut.
Aspek | Teks pada AKM |
---|---|
Sumber |
|
Format |
|
Tipe |
|
Konteks |
|
Sumber :
pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Jenjang Sekolah Menengah Pertama
Direktorat Sekolah Menengah Pertama
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2021